Anis Matta: Ini Saatnya Umat Islam Mengekspresikan Diri Dalam Politik

Senin, 19 Mei 2014

IMG-20140519-WA0023_Fotor

Jakarta—Siang ini, (19/5), Rumah Polonia menjadi saksi sejarah atas satu fase dalam demokrasi Indonesia. Di tempat yang pernah menjadi kediaman Bung Karno ini, beberapa petinggi partai berkumpul untuk deklarasi calon presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Hatta Rajasa. Hadir di antara mereka, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta. Selepas deklarasi, Anis menuangkan buah pikirannya mengenai deklarasi tersbut, lewat akun twitter-nya @anismatta.

Dengan gaya penuh semangat dan puitis khas dirinya, Anis menuturkan bahwa sejak dulu Islam selalu menjadi bagian dari dinamika politik Indonesia. Menurutnya, ajaran Islam memang menganjurkan umatnya terlibat dalam membentuk masyarakat—dan salah satu wahana untuk membentuk masyarakat adalah melalui politik.

“Dalam buku Gelombang Ketiga Indonesia, saya membahas Islam sebagai faktor kohesi terbentuknya nasionalisme Indonesia. Jadi jauh sebelum nasionalisme muncul, gerakan Islam telah menyediakan pergaulan yang luas, serta kristalisasi kepentingan dan identitas. Kalau memakai istilah sekarang, para saudagar Islam dahulu sudah punya networking yg luas,” tutur Anis.

Anis mengajak kita flashback ke beberapa dekade yang lalu. Saat itu, Anis menjelaskan, pesantren juga berperan membangun nasionalisme, karena menjadi pusat-pusat perlawanan terhadap penjajah. Umat Islam pun menjadi pemasok cendekiawan yang menjadi penggerak nasionalisme Indonesia, melalui organisasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (PERSIS), dan lain-lain.

Namun dalam perjalanan politik ini, Islam pernah melewati kerikil-kerikil tajam. Pertama, saat terjadi perdebatan dasar negara pertama, yaitu debat antara nasionalisme ‘sekuler’ dengan nasionalisme berlandaskan agama. Dalam  sejarah, kita mencatatnya sebagai debat Piagam Jakarta. Selanjutnya, umat Islam juga terlibat dalam konflik berdarah dengan komunis, di mana kita menjadi bulan-bulanan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan dimobilisasi pasca Gerakan 30 September (G30S).

“Setelah Orde Baru terbentuk, hubungan Islam dan politik menjadi tegang. Orde Baru menutup debat masalah ideologi dengan alasan stabilitas untuk pembangunan.  Proses politik disederhanakan melalui fusi partai-partai. Azas tunggal diterapkan. Kelompok politik Islam ditekan dengan adanya stigma ekstrem ‘kanan’. Puncaknya adalah Peristiwa Tanjung Priok yang meninggalkan luka dan trauma mendalam bagi umat Islam,” papar Anis.

Kemudian saat memasuki tahun 90-an, ada perubahan sikap Soeharto yang membawa ‘angin segar’. Setelah Soeharto menunaikan ibadah haji, terbentuklah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Saat itu, Anis memberi kiasan, suasana Indonesia ‘ijo royo-royo’.

“Suasana ini bukan saja di-drive dari atas, tapi (karena) di masyarakat juga mulai terbentuk kelas menengah Islam. Ekspresinya bukan politik, tapi identitas. Namun, sebagian orang menganggap itu langkah politik Soeharto untuk mencari basis politik baru, setelah tentara tidak solid mendukungnya,” ungkap Anis.

Setelah Reformasi, lanjut Anis, Indonesia mengalami kebebasan. Ekspresi politik terbuka, berbagai hal juga mencapai konsensus.

“Relasi Islam dan negara sudah mencapai ekuilibrium. Tafsir ideologi tidak lagi ditunggalkan. Oleh karena itu, Pancasila kini menjadi panggung terbuka untuk identitas yang berbeda-beda,” jelas Anis.

Oleh sebab itu, Anis mengajak umat Islam memulihkan luka dan trauma politik akibat memori buruk masa lalu. Inilah saatnya umat Islam mengekspresikan aspirasi dan identitasnya dalam politik, karena kita adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kita bisa mewarnai lanskap politik dan ikut membentuk masyarakat. Jadi, mari berpartisipasi dalam politik, sekecil apa pun peran kita. Sesungguhnya tidak ada peran kecil dalam keikutsertaan membentuk masyarakat. Kobarkan semangat Indonesia!” pungkas Anis. (dnh)