Sepenggal Masa Kecil Sang Presiden

Sabtu, 14 Juni 2014

am 1 jam

Jakarta—Selama ini, sosok Anis Matta identik dengan sepak-terjangnya dalam dunia politik. Wajar saja, karena ia adalah politisi asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan saat ini bahkan duduk sebagai Presiden partai berlambang bulan sabit kembar tersebut. Tapi malam ini (14/6), lewat program Satu Jam Lebih Dekat di tvOne, publik menyaksikan sisi lain Anis Matta.

Saat sebuah foto sesosok pria ditampilkan, terungkaplah bahwa Anis merupakan penggemar karya-karya sosok dalam foto tersebut, Sang Raja Dangdut Rhoma Irama.

“Dulu saya tinggal di kampung, di mana kebanyakan orang menyukai musik dangdut. Akhirnya saya jadi suka, terutama Rhoma Irama. Lagu yang  paling saya suka adalah Kerudung Putih,” ungkap Anis.

Rasa suka Anis pada lagu Kerudung Putih rupanya dilatarbelakangi situasi saat itu. Anis remaja tinggal di pondok pesantren, di mana siswa laki-laki (santri) tinggal terpisah dari siswa perempuan (santriwati).

“Kalau mau ke rumah kyai, harus melewati asrama putri. Saat itu seringkali kita berpapasan dengan santriwati, dan melihat wajah mereka itu merupakan sesuatu yang luar biasa,” canda Anis.

Selain Rhoma Irama, ada dua musisi lagi yang Anis kagumi.

“Saya mengagumi tiga orang. Rhoma Irama, Ebiet G. Ade, dan Iwan Fals. Ketiganya punya kesamaan, yaitu sama-sama otentik. Musiknya asli, suaranya asli, syairnya juga asli,” puji pria kelahiran Bone, 45 tahun lalu itu.

Anis kecil pernah tinggal di dua tempat, Bone (Sulawesi Selatan) dan Tual (Maluku). Kedua tempat ini dekat dengan perairan. Saat di Bone, rutinitas Anis setiap hari adalah sekolah di pagi hari, mengaji di sinag hari, dan berenang di sore hari. Aktivitas sore inilah—berenang di sungai—yang menjadi hiburan Anis.

Hal yang sama berlaku saat Anis tinggal di Tual yang dekat dengan laut. Anis kerap menaiki kapal perintis yang berlabuh di dermaga, mencari bagian tertinggi, kemudian melompat ke dalam air. Menurut pria yang hobi futsal ini, sensasi yang dirasakan saat terjun dari ketinggian itulah yang menghasilkan keseruan.

Ternyata, kesukaan Anis pada ketinggian mengajarinya satu hal dalam hidup.

“Dulu kalau mau lompat dari tempat tinggi, yang saya lakukan adalah tutup mata, lompat, dan terjadilah apa yang terjadi. Sekarang, ketika saya menghadapi situasi keras, saya bawa itu. Dalam setahun ini, ketika kita menghadapi risiko besar, dan kita tidak tahu apakah kita bisa menghadapinya atau tidak, maka tutuplah mata, lompat, dan terjadilah apa yang terjadi,” tutur Anis.

Begitu banyak peristiwa di masa lalu yang memperkaya cerita dalam acara yang dipandu Indy Rachmawati tersebut. Namun ada satu peristiwa yang paling spesial di kotak memorinya, yaitu pengalaman Anis makan ‘oli dan paku berkarat’ selama enam tahun.

Tapi Anis bukan hendak melakukan atraksi debus, karena ‘oli dan paku berkarat’ adalah sebutan untuk nasi bercampur kecap dan lauk teri, menu Anis dan penghuni pondok pesantren tiap sarapan pagi. Untuk Anis yang saat itu berusia 11 tahun—dan terbiasa dengan hidup berkecukupan di rumahnya—tentu hal ini berat terasa.

Selain menu makan yang ‘tak biasa’, tradisi disiplin di pesantren membuat hidup di sana terasa ‘keras’. Setidaknya, hal ini dirasakan oleh 53 dari 58 murid seangkatan Anis, yang tidak mampu bertahan melanjutkan pendidikannya di sana. Namun Anis tidak menyerah, karena selain tekad baja yang ia miliki, ada seorang ustadz yang selalu memotivasi Anis dan kawan-kawannya untuk bertahan.

“Jangan lihat hitamnya nasi kecap ini, tapi lihatlah bahan bakunya. Insya Alah nilai gizinya tinggi. Ingatlah, nasi kecap ini yang kelak akan membuat kalian jadi orang besar,” kenang Anis mengutip ucapan Abdul Djalil Thari, guru khat-nya (kaligrafi Arab) saat itu.

Lalu seperti hendak menggenapkan keharuan Anis pada kenangan itu, sang Ustadz hadir menemui Anis pada acara tersebut. Demi melihat sang guru, Anis berdiri dan melabuhkan pelukan erat kepadanya. Anis menuturkan, kecintaan dan rasa hormat dirinya kepada Ustadz Abdul Djalil sangatlah besar, karena pelajaran yang diberikan sang ustadz tidak terbatas materi ajar pesantren saja.

“Beliau adalah pendidik dalam makna sesungguhnya. Dia mendidik kita secara keseluruhan. Ini yang membuat saya selalu berpikiran terbuka dan menyenangi hal-hal baru, juga berani dan disiplin, yang membuat daya tahan kita kuat (saat di pesantren), kita lalui dengan enteng, karena ada motivator yang baik seperti beliau,” ungkap Anis.

Meski hubungan di antara Anis dan Ustadz Djalil begitu erat, ada kalanya mereka berbeda pendapat. Salah satunya adalah saat pesantren mereka memasukkan kurikulum pelajaran Ilmu Pengetahun Alam (IPA) sebagai materi ajar.

“Saya dulu bertengkar dengan Ustadz, karena asumsi saya masuk pesantren karena ingin jadi ulama. Maka saya protes keras,” aku Anis.

Ustadz Abdul Djalil pun sumbang cerita.

“Waktu itu, saya sedang mengikuti pelatihan di Cimanggis. Anis dan teman-temannya yang ingin jadi orang syariah, datang ke istri saya meminta alamat tempat pelatihan di Cimanggis. Maksudnya mau mendemo (demonstrasi—red), tapi istri saya menolak,” kenang pria yang hingga kini masih tinggal di pesantren yang sama tempat dirinya mengajar Anis dahulu.

Mendengar kabar dari sang istri, sekembalinya ke pesantren, Abdul Djalil langsung menuju masjid. Di tempat ini, Anis dan kawan-kawannya sudah menunggu. Dengan lantang, Anis menolak keputusan masuknya materi IPA ke dalam pesantren. Rupanya, saat itu Anis ditunjuk sebagai juru bicara kaum kontra-IPA.

Namun Abdul Djalil bisa menjawab keberatan Anis cs.

“Al-Qur’an yang kamu pelajari dan kamu tahu itu seharusnya kamu implementasikan ke dalam kehidupan. Di dalamnya banyak (tentang) IPA. Ada ayat ‘Iqra!, ‘bacalah!’, itu artinya apa yang ada di alam ini—tanah, pohon, batu—semua harus mampu kita ‘baca’, kita pelajari, dan itu ada dalam IPA,” sanggah Abdul Djalil saat itu.

Pada akhirnya, Anis mengerti dan menyatakan siap menjadi santri IPA.

Kehidupan pesantren inilah yang membentuk kepribadian Anis di masa kecil dan remaja. Keunikan dinamikanya menempa Anis menjadi pribadi tangguh, pemberani, sabar, berani mengambil risiko, bertanggungjawab, dan berpikiran luas. Sifat ini Anis bawa dalam setiap fase hidupnya, termasuk dalam politik.

“Politik ini rumit. Di satu sisi kita harus mengejar kursi itu, tapi di sisi lain jangan dianggap sebagai sesuatu yang penting. Harus ada jarak yang tegas dalam jiwa untuk jabatan ini. Saat saya mundur sebagai Ketua DPR, ini waktu yang baik. Naik-turun, ini tidak ada urusannya dengan kehormatan. Ini murni merupakan tuntutan dari satu perjalanan hidup,” tegas suami dari Anaway Irianty Mansyur ini. (dnh)