MAKASSAR – Kaum elite merupakan kelompok kecil yang terpandang dan memiliki derajat tinggi di masyarakat. Kedudukan mereka ditopang setidaknya oleh salah satu dari tiga elemen, yaitu ilmu, harta, dan kekuasaan. Semakin komplet elemen yang mereka miliki, semakin kuat kemampuan mereka mempengaruhi masyarakat. Hal tersebut disampaikan Anis Matta,pada Selasa (23/5/2017), di Lapangan Karebosi, Makassar.
“Mereka punya ilmu, harta, dan kuasa. Begitu manusia punya, dia merasa tidak butuh lagi dengan Tuhan. Bahkan, pelan-pelan, dia mulai mikir bahwa dia juga mempunyai apa yang dimiliki Tuhan. Kenapa bukan dia sekalian yang jadi Tuhan? Itulah yang dirasakan Fir’aun,” buka Anis.
Kesombongan seperti itulah, sambung Anis, yang membuat para elite menolak dakwah para Nabi. Kesombongan itu berawal dari dua kesalahan ketika menafsirkan kekuasaan.Pertama, salah menafsirkan sumber kekuasaan. Kedua, salah menafsirkan relasi kekuasaan dan kehormatan.
Untuk salah tafsir yang pertama, Anis membandingkan antara Qorun dan Nabi Sulaiman. Qorun menganggap semua kekayaannya berasal dari ilmu dan hasil kerja kerasnya. Sedangkan Nabi Sulaiman, menganggap semua kekayaan dan kekuasaannya bersumber dari Allah.
“Ada salah tafsir yang kedua, yaitu anggapan kalau seseorang diberi kekuasaan, itu artinya dia diberi penghormatan oleh Allah. Padahal itu tidak berhubungan secara langsung. Jadi, bukan karena kita diberi kuasa, maka kita mendapatkan kehormatan atau dimuliakan. Bukan karena kita tidak diberi harta, maka kita dihinakan oleh Allah,” lanjut presiden PKS periode 2013-2015 itu.
Anis menegaskan bahwa ilmu, harta, dan kekuasaan berasal dari Allah. Sangat mudah bagi Allah untuk mencabutnya kembali, baik secara tiba-tiba maupun perlahan-lahan. Dalam kasus Fir’aun, Allah memulainya dengan menyelipkan rasa was-was melalui mimpi. Raja Mesir itu bermimpi tentang kelahiran bayi laki-laki yang akan menjatuhkannya. Barulah lebih kurang setengah abad kemudian, kekuasaan Firaun benar-benar runtuh.
“Apa mulanya yang dipakai Allah? Mimpi. Mimpi yang membuat Fir’aun paranoid. Makanya penyakit raja-raja itu adalah paranoid. Dia selalu menafsir orang-orang di sekitarnya sedang melakukan makar untuk menjatuhkannya,” ujar Anis.
Menurut Anis, sebagai sebuah keniscayaan di struktur sosial masyarakat, kaum elite juga ada di masyarakat Islam. Rasul tidak hanya berdakwah di kalangan proletar, tapi juga di kalangan elite. Bahkan, khulafa rasyidin yang memimpin kaum Muslimin setelah Rasul, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, juga berasal dari kelompok elite di masyarakat Quraisy.
Bedanya, kaum elite yang Muslim dapat menafsirkan sumber kekuasaan dengan benar. Mereka juga berhasil memandang relasi antara kekuasaan dan kehormatan secara benar. Mereka menyadari bahwa segala yang mereka miliki bersumber dari Allah.
“Menghindari salah tafsir terhadap dua penyakit ini, yaitu sumber kuasa dan relasi kekuasaan terhadap kehormatan dan kehinaan. Inilah yang membuat elite Muslim, waktu mereka berkuasa, senantiasa merasakan pada dasarnya, pada mulanya, sampai pada akhirnya, saya hanyalah seorang hamba Allah. Tidak lebih dan tidak kurang,” tutup Anis. (DLS)