Ibadah haji tahun ini selesai sudah. Sekitar dua juta orang yang berkumpul di waktu dan tempat yang sama itu berangsur-angsur kembali ke tempatnya di seantero dunia. Mereka pulang membawa perasaan tenang karena telah memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.
Haji adalah ibadah yang dilaksanakan dengan merekonstruksi pengalaman nyata Nabi Ibrahim AS dan Nabil Ismail AS menjalankan perintah Allah dengan penuh kepatuhan. Jamaah haji diharapkan menghayati pengalaman yang sama, yaitu percaya dan berprasangka baik pada Tuhan, dan berusaha mengenyahkan iblis yang selalu mencoba menerbitkan keraguan dalam hati kita.
Pada tingkat individual, haji adalah rekonfirmasi ketauhidan, pengakuan kita atas keesaan Allah dan kepasrahan makhluk kepada Sang Khalik. Rekonfirmasi tersebut dinyatakan dalam doa yang diucapkan berulang-ulang selama ibadah haji:labbaik allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarikalak. Doa tersebut berarti: aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu; aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu; aku memenuhi panggilanmu; sesungguhnya pujian dan dan nikmat adalah milik-Mu, begitu juga kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu.
Setiap jamaah haji berharap menjadi Haji Mabrur. Namun, seperti halnya ibadah puasa dan qurban, hanya Allah yang tahu apakah haji seseorang diterima (makbul) dan orang tersebut akan menjadi insan yang lebih baik (mabrur). Artinya, ibadah haji juga mengandung pesan transformasi diri untuk menjadi lebih baik setelah menguatkan tauhid dan kepasrahan kita kepada Allah. Kesalehan individual harus terwujud dalam praksis kesalehan sosial, apalagi setelah kita berhasil mengusir iblis keraguan di hati kita.
Mobilisasi & Tujuan Hidup
Ibadah haji juga bisa dibaca secara sosiologis. Jutaan orang yang berkumpul pada 9-10 Dzuhijjah di Arafah menunjukkan pada kita kekuatan agama memobilisasi umatnya. Panggilan haji menyentuh relung hati Muslim dan menerbitkan hasrat untuk datang, semacam rindu menggebu padahal belumpernah bertemu.
Bagi banyak Muslim di berbagai belahan dunia, melakukan ibaah haji tidaklah mudahlagi murah. Karena itu pula ibadah haji dianggap paripurna Rukun Islam. Tahun ini kita menyaksikan rombongan jamaah yang menunggang sepeda dari London, Inggris. Mereka menempuh perjalanan sekitar 3.000 km selama enam minggu dan melintasi sembilan negara. Mereka melakukan itu selain untuk beribadah, juga untuk menggalang dana kemanusiaan bagi Suriah.
Ada data menarik mengenai moda transportasi jamaah haji. Ternyata ada sekitar 88 ribu orang yang melalui jalur darat dan sekitar 14 ribu orang melalui jalur laut, selain sekitar 1,6 juta yang menggunakan pesawat terbang. Syariah haji telah menjadi pertunjukan mobilisasi manusia pada tingkat global. Tidak sedikit dari jamaah merupakan orang miskin yang berjuang dan menabung bertahun-tahun untuk bertamu di rumah Allah.
Berduyun-duyunnya jutaan orang mendatangi Mekkah itu seolah menjadi jawaban atas doa Nabi Ibrahim AS yang termuat dalam al Quran, surah Ibrahim, ayat 35: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”
Selain ibadah, mobilisasi manusia besar-besaran biasanya dilakukan oleh negara. Negara bahkan mampu menggerakkan orang untuk bertaruh nyawa dalam perang atas nama kedaulatan negara. Namun baru-baru ini kita juga melihat mobilisasi besar-besaran “keluar” negara berupa pengungsian besar-besar ketika negara sudah tidak mampu menjamin keselamatan dan kehidupan individu. Para pengungsi dari Afrika, Timur Tengah, Balkan, dan yang paling aktual Rohingya, meninggalkan negara-bangsa mereka, menanggalkan nasionalisme, demi melindungi nyawa mereka. Negara gagal melindungi perikehidupan warga negaranya dan individu berjuang mencari keselamatan sendiri-sendiri.
Negara tidak lagi mampu memobilisasi warganya ketika terjadi perbedaan antara tujuan individu dan tujuan negara. Dalam konteks pengungsi, negara dianggap tidak seberapa berharga dibanding nyawa. Berbeda dengan situasi patriotis yang menganggap nyawa pun layak dikorbankan demi tegaknya negara. Terpisahnya tujuan negara dengan tujuan individu
Perpecahan antara tujuan negara dan tujuan individu semakin diperkuat dengan paham pemisahan ruang privat dan ruang publik, di mana negara dilarang masuk ke ruang privat individu.
Negara dapat diterima masuk ke ruang privat ketika mampu memberi orientasi dan inspirasi tujuan hidup. Inilah yang dulu diisi dengan ideologi negara seperti kemakmuran, atau kesamarataan dalam komunsime, atau “American Dream” di tanah Abang Sam. Kini negara harus membangun relevansi baru bagi individu agar dapat memobilisasi warganya. Ujian terbesar sebuah ideologi adalah pada kemampuannya menginspirasi dan memoblisasi publik.
Perpecahan antara tujuan negara dengan tujuan individu adalah jawaban mendasar mengapa negara gagal melakukan mobilisasi. Contohnya, ketika Amerika Serikat melakukan Perang Vietnam, penentangan terbesar justru datang dari warganegaranya sendiri. Patriotisme Amerika di Perang Vietnam, apalagi dengan alasan menghalau komunisme, dianggap tidak cukup menggugah dan berharga untuk menggerakkan individu bergabung dan mendukung “proyek besar” tersebut. Perlawanan terhadap Perang Vietnam itu sampai melahirkan satu genre budayasendiri yang kita kenal dengan “Generasi Bunga”.
Perpecahan tujuan negara dan individu juga menjadi kritik utama terhadap paham developmentalisme yang dijalankan rejim otoriter. Misalnya, ketika di suatu tempat akan dibangun bendungan, untuk siapakah sejatinya bendungan itu dibuat? Warga (baca: individu) tidak merasakan manfaat pembangunan itu, malah mengalami deteriorisasi akibat perampasan tanah, pengusiran, atau intimidasi. Permintaan suaka politik ke negara lain oleh Edward Snowden yang membocorkan dokumen rahasia intelijen AS dan pendiri Wikileaks Julian Assange juga mencontohkan berpisahnya tujuan dan kepentingan individu dengan negara.
Fenomena berbeda kita saksikan belum lama ini di Tanah Air. Peristiwa 411 dan 212 menunjukkan kemampuan mobilisasi warga atas motivasi agama lebih besar dari kemampuan negara menggiring mobilisasi ke arah sebaliknya.
Bersamaan dengan meningkatnya tensi geopolitik regional dan global akibat berbagai krisis sosial, ekonomi, dan politik, kita menyaksikan kembali era mobilisasi yang dilakukan warga dan bukan negara akibat perpecahan antaran tujuan hidup individu dan tujuan negara.
Pada peristiwa haji yang kita saksikan adalah mobilisasi oleh agama terhadap individu tanpa paksaan struktural dari negara. Bahkan negara “dipaksa” memfasilitasi mobilisasi tersebut dalam bentuk pengelolaan dan pelayanan ibadah haji. Itu menunjukkan betapa gama memenuhi pertanyaan fundamental manusia, yaitu tujuan hidup! Ini berbeda dengan pandangan Marxis yang melihat agama sebagai candu dan menjadi tempat pelarian manusia dari kerasnya hidup.
Dari ibadah haji kita belajar tentang orang-orang yang berjuang untuk sampai pada titik kepasrahan. Ketika berkumpul di Arafah, individu lebur dalam keseragaman warna putih ihram namun tidak dalam kolektivitas, karena masing-masing individu sedang berkomunikasi langsung pada Allah.
Kolektivitas Muslim pasca-Arafah harus tampak dalam gerak bersama menjadi insan yang lebih baik dan usaha membangun masyarakat yang adil dan makmur. Semoga jamaah haji tahun ini menjadi Haji Mabrur.
Dimuat di Republika, Selasa, 5 September 2017.