Ada beberapa hal yang menarik ketika kita membahas runtuhnya Uni Soviet. Salah satu yang jarang dibahas adalah mengenai absennya nasionalisme dan identitas kebangsaan di Negara Beruang Merah itu.
Uni Soviet adalah konfederasi dari 15 republik dengan wilayah yang sangat luas dan budaya yang berbeda. Namun keragaman identitas dan budaya itu tidak diapresiasi, bahkan direpresi, jika tidak berperan dalam perjuangan komunisme. Seni budaya tidak lebih dijadikan sarana propaganda, dan banyak seni budaya yang berakar pada aristokrasi Eropa digusur karena dianggap tidak sejalan dengan semangat komunisme.
Selain itu, komunisme percaya pada internasionalisme dan menganggap nasionalisme adalah penghalang. Yang dicita-citakan adalah terbentuknya pemerintahan proletar sedunia dengan negara-negara sebagai satelit. Di sinilah sifat totalitarian komunisme. Artinya, semua aspek kehidupan ditundukkan bahkan direpresi dengan kekerasan demi eksistensinya sendiri. Akar kebangsaan dan budaya semuanya ingin dihilangkan.
Tidak adanya nasionalisme sebagai satu negara bangsa membuat rakyat Uni Soviet dengan mudah berpaling ke tawaran-tawaran lain ketika krisis ekonomi terjadi. Rakyat Uni Soviet tidak merasa punya alasan untuk berjuang mempertahankan negara yang selama ini kehadirannya dirasakan tidak relevan dengan hajat kemanusiaan mereka.
Pergerakan etnonasionalisme membangkitkan ketegangan antar-etnis yang selama ini ditekan. Konflik di Nagorno-Karabakh pada 1988 memicu konflik etnis yang ikut melemahkan kesolidan Uni Soviet. Ketegangan antar-etnis ini juga yang menjadi sumber konflik di Eropa Timur ketika negara-negara komunis tumbang, seperti di Bosnia pada 1992-1995.
Situasi ini jauh berbeda dengan bangsa Indonesia yang rela menderita dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan karena adanya cita-cita bersama. Hanya butuh kurang dari dua tahun sejak krisis ekonomi melanda pada 1990, Uni Soviet bubar pada 8 Desember 1991.